Rabu, April 30, 2014

HALALKAH MMM?

Sharing dari Guru Anom (HALALKAH MMM?)
Sharing dari Guru Anom mungkin bisa untuk menambah ilmu memahami bab muamalah yang belum tahu jadi tahu yang sudah tahu akhirnya bisa mengkaji ulang dan tidak sembarangan dalam memutuskan suatu hukum atau memaksakan sesuai pendapat sendiri tidak mengkaji dari satu sisi untuk kepeningan pribadi karena ini bab muamalah buka aqidah.... silahkan HALALKAH MMM? Mungkin kita pernah mendengar istilah DHABITH dan KAIDAH. Karena MMM sangat berhubungan dengan masalah muamalah yang baru, maka MMM perlu ditinjau dari Dhabithnya. Menghalalkan dan mengharamkan sesuatu adalah hak Allah swt. Tetapi ketika ada masalah baru dalam urusan dunia, seperti MMM, tentu gak ada satupun dalil yang melarang system MMM. Mengetahui kaidah dan dhobith adalah perkara yang sangat penting dalam setiap masalah agama. Dan dengan kaidah dan dhobith seorang muslim akan mempunyai gambaran yang baik pada setiap permasalahan, bisa melepaskannya dari berbagai masalah dan menjaganya dari kesalahan. Dhobith (ضَابِطٌ) berasal dari kata Adh-Dhobth (الْضَبْطُ) yang berarti tetap dan komitment diatas sesuatu. Adapun secara istilah, kalimat para ‘ulama beraneka ragam dalam mendefinisikannya. Tapi yang paling dekat definisinya dalam bab mu’amalat adalah segala sesuatu yang mengumpulkan bagian-bagian perkara tertentu atau ukuran/pijakan yang setiap bagian dari suatu bab bisa kembali kepadanya. Dhobith kadang bisa diterjemah dengan makna kaidah walaupun para ulama membedakan antara kaidah dan dhobith. Kalau kaidah itu adalah ukuran/pijakan yang bisa dipakai dalam seluruh bab/permasalahan. Maka dhobith hanya dipakai dalam bab tertentu saja. Kalau dikatakan ada kaidah begini2, maka itu berarti bahwa kidah tersebut bisa digunakan dalam seluruh bab, baik dalam sholat, puasa, zakat, haji dan lain-lain termasuk muamalah. Tapi kalau dikatakan dhobith dalam masalah ini begini2, maka itu menunjukkan bahwa dhobith tersebut hanya dipakai dalam bab itu secara khusus. Kalau dipakai dalam bab sholat maka dhobith itu khusus dalam bab sholat, kalau digunakan dalam bab puasa maka dhobith itu hanya dalam bab puasa, demikian juga jika dipakai dalam bab muamalah. Dhobith pertama : Asal dalam mu’amalat adalah halal dan boleh kecuali kalau ada dalil yang mengharamkan atau melarang. Kandungan dhobith pertama ini adalah pendapat yang dipegang oleh jumhur ulama’ termasuk Imam empat dan tidak ada yang menyelisihi pendapat ini kecuali Al-Abhary dari kalangan Malikiyah dan Ibnu Hazm dari Mazdhab Azh-Zhohiriyah. Banyak dalil yang menunjukkan kuatnya pendapat ini, diantaranya : Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبا “Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (QS. Al-Baqorah : 275) Sisi pendalilan : Allah menghalalkan jual beli dan perdagangan dengan seluruh jenisnya dan mengharamkan riba karena didalamnya terdapat bentuk kezholiman dan memakan harta manusia dengan kebatilan. Maka hal ini menunjukkan bahwa asal dalam mu’amalat adalah halal sepanjang tidak mengandung kezholiman atau makan harta manusia dengan kebatilan. Dan didalam tanzil-Nya, Allah menyatakan : فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ “Apabila sholat telah ditunaikan, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah”. (QS. Al-Jumu’ah : 10) Sisi pendalilan : Jual beli memiliki larangan khusus yaitu ketika adzan jum’at telah dikumandangkan. Namun setelah jum’at kita diperintah dengan perintah umum untuk bertebaran di muka bumi mencari karunia Allah. Maka ini menunjukkan bahwa asal dalam mu’amalat adalah halal dan boleh sampai ada dalil yang menunjukkan tentang haramnya. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlangsung atas dasar suka sama-suka di antara kamu”. (QS. An-Nisa` : 29) Sisi pendalilan : Dalam ayat ini tidak disyaratkan dalam perdagangan kecuali saling ridha, menunjukkan bahwa sepanjang satu bentuk perdagangan dan jual beli sesuai dengan tuntunan dan tidak ada larangannya maka asalnya adalah boleh dan halal. Dan Rabbul ‘Izzah berfirman : وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ “Padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu”. (QS. Al-An’am : 119) Sisi pendalilan : Segala sesuatu yang telah diharamkan ada rincian penjelasan haramnya dalam Al-Qur’an maupun Hadits. Maka ini menunjukkan bahwa asal dari mu’amalat adalah boleh dan halal dan tidaklah boleh mengharamkan sesuatu kecuali kalau ada penjelasannya dari Allah ‘Azza wa Jalla dan Rasul-Nya. Dan Allah Jalla Sya’nuhu menyatakan : قُلْ لا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّماً عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَماً مَسْفُوحاً أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ “Katakanlah: “Tiadalah aku dapatkan dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi”. (QS. Al-An’am : 145) Sisi pendalilan : Allah Subhanahu wa Ta’ala hanya membatasi perkara-perkara yang diharamkan dalam ayat ini, maka apa saja yang tidak diketahui pengharamannya maka ia adalah halal. Kesimpulan : Secara dhabith, hukum MMM adalah HALAL karena hukum asal tersebut belum ditemukan larangan yang mengarah kepada pengharaman. Kaum muslimin jangan salah faham dengan kami, kami bukan membuat hukum tentang MMM, bukan kapasitas saya memutuskan halal atau haram. Kami menghalalkan karena belum menemukan illat (cacat hukum) dalam MMM, atau yang mengarah kepada perbuatan haram /yang dilarang. Jadi, sebelum ada larangan yang jelas tentang system MMM, maka hukumnya tetap kembali ke hukum semula, yakni HALAL Alasannya adalah : - MMM masalah muamalah baru yang belum ditemukan penyimpangannya secara syar'i Hukum ini akan berubah jika MMM cacat hukum. Antara lain : - Riba MMM sama sekali tidak berhubungan dengan jual beli dan hutang piutang, tetapi pemberian. Adanya penambahan 30% bukan dari orang yang ditransfer, tetapi dari orang lain yang memberi suka rela. Perkara memberi ikhlas atau tidak, urusan hati masing2, dan tentu saja tidak lantas menjadi haram hanya karena niat yang salah. Contoh anda menyumbang masjid, tetapi tidak ikhlash, maka uang tersebut tetap halal, bukan menjadi haram karena salah niat. - Gharar (Penipuan) Di MMM. Tak ada celah menipu. Pihak management MMM. Sama sekali tidak menerima SETORAN uang ke perusahaan layaknya investasi. - Zhulmun Ada akad yang menzhalimi satu pihak dan hanya menguntungkan pihak lain. MMM jelas menguntungkan semua pihak. - Terpaksa/ Tiada Rela Sedangkan di MMM sejak PH seseorang dikondisikan agar benar-benar tulus dan suka rela membantu. Demikianlah, artinya system benar, perkara orang tidak rela saat membantu, tidak menggugurkan system. - Mengandung Unsur Perjudian. Sangat jauh berbeda antara MMM dengan perjuadian. Dalam judi jelas2 spekulasi, pasti ada yang hancur dan untung besar, pasti ada yang kecewa, sebab dalam judi ada istilah kalah dan menang. Sedangkan di MMM. "Menang semua", untung semua, senang semua.
Copas dr mas Russian Awank

Menurut kajian beliau, dalam pandangan Islam kegiatan yg dilakukan komunitas MMM adalah "MUDHOROBAH"
Mudhorobah dalam Islam artinya "saling membantu dan saling membutuhkan"
Jadi bonus 30% perbulan yg diterima oleh setiap participant MMM adalah hasil saling bantu membantu yg berasal dari beberapa participant2 lain, disitulah praktek dari Mudhorobah tsb.
Jauh dan sama sekali bukan Ribah, dimana keuntungan 30% diperoleh dari satu orang yg sebelumnya pernah berhutang lalu mengembalikannya semua nilai pokoknya ditambah bunga 30% tsb dg disertai rasa terpaksa dan dg berat hati pula !!
Kami memberi dan menerima bantuan ini dg hati sangat gembira dan penuh kebahagiaan, karena dibalik kita saling membantu terbangunlah sebuah senyum persaudaraan diantara kami, hari ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar