Sharing dari Guru Anom (HALALKAH MMM?)
Sharing dari Guru Anom
mungkin bisa untuk menambah ilmu memahami bab muamalah yang belum tahu
jadi tahu yang sudah tahu akhirnya bisa mengkaji ulang dan tidak
sembarangan dalam memutuskan suatu hukum atau memaksakan sesuai
pendapat sendiri tidak mengkaji dari satu sisi untuk kepeningan pribadi
karena ini bab muamalah buka aqidah.... silahkan HALALKAH MMM? Mungkin
kita pernah mendengar istilah DHABITH dan KAIDAH. Karena MMM sangat
berhubungan dengan masalah muamalah yang baru, maka MMM perlu ditinjau
dari Dhabithnya. Menghalalkan dan mengharamkan sesuatu adalah hak Allah
swt. Tetapi ketika ada masalah baru dalam urusan dunia, seperti MMM,
tentu gak ada satupun dalil yang melarang system MMM. Mengetahui kaidah
dan dhobith adalah perkara yang sangat penting dalam setiap masalah
agama. Dan dengan kaidah dan dhobith seorang muslim akan mempunyai
gambaran yang baik pada setiap permasalahan, bisa melepaskannya dari
berbagai masalah dan menjaganya dari kesalahan. Dhobith (ضَابِطٌ)
berasal dari kata Adh-Dhobth (الْضَبْطُ) yang berarti tetap dan
komitment diatas sesuatu. Adapun secara istilah, kalimat para ‘ulama
beraneka ragam dalam mendefinisikannya. Tapi yang paling dekat
definisinya dalam bab mu’amalat adalah segala sesuatu yang mengumpulkan
bagian-bagian perkara tertentu atau ukuran/pijakan yang setiap bagian
dari suatu bab bisa kembali kepadanya. Dhobith kadang bisa diterjemah
dengan makna kaidah walaupun para ulama membedakan antara kaidah dan
dhobith. Kalau kaidah itu adalah ukuran/pijakan yang bisa dipakai dalam
seluruh bab/permasalahan. Maka dhobith hanya dipakai dalam bab tertentu
saja. Kalau dikatakan ada kaidah begini2, maka itu berarti bahwa kidah
tersebut bisa digunakan dalam seluruh bab, baik dalam sholat, puasa,
zakat, haji dan lain-lain termasuk muamalah. Tapi kalau dikatakan
dhobith dalam masalah ini begini2, maka itu menunjukkan bahwa dhobith
tersebut hanya dipakai dalam bab itu secara khusus. Kalau dipakai dalam
bab sholat maka dhobith itu khusus dalam bab sholat, kalau digunakan
dalam bab puasa maka dhobith itu hanya dalam bab puasa, demikian juga
jika dipakai dalam bab muamalah. Dhobith pertama : Asal dalam mu’amalat
adalah halal dan boleh kecuali kalau ada dalil yang mengharamkan atau
melarang. Kandungan dhobith pertama ini adalah pendapat yang dipegang
oleh jumhur ulama’ termasuk Imam empat dan tidak ada yang menyelisihi
pendapat ini kecuali Al-Abhary dari kalangan Malikiyah dan Ibnu Hazm
dari Mazdhab Azh-Zhohiriyah. Banyak dalil yang menunjukkan kuatnya
pendapat ini, diantaranya : Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبا “Padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (QS. Al-Baqorah : 275)
Sisi pendalilan : Allah menghalalkan jual beli dan perdagangan dengan
seluruh jenisnya dan mengharamkan riba karena didalamnya terdapat bentuk
kezholiman dan memakan harta manusia dengan kebatilan. Maka hal ini
menunjukkan bahwa asal dalam mu’amalat adalah halal sepanjang tidak
mengandung kezholiman atau makan harta manusia dengan kebatilan. Dan
didalam tanzil-Nya, Allah menyatakan : فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلاةُ
فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ “Apabila
sholat telah ditunaikan, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan
carilah karunia Allah”. (QS. Al-Jumu’ah : 10) Sisi pendalilan : Jual
beli memiliki larangan khusus yaitu ketika adzan jum’at telah
dikumandangkan. Namun setelah jum’at kita diperintah dengan perintah
umum untuk bertebaran di muka bumi mencari karunia Allah. Maka ini
menunjukkan bahwa asal dalam mu’amalat adalah halal dan boleh sampai ada
dalil yang menunjukkan tentang haramnya. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman : يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ
بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ
مِنْكُمْ “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan
yang berlangsung atas dasar suka sama-suka di antara kamu”. (QS.
An-Nisa` : 29) Sisi pendalilan : Dalam ayat ini tidak disyaratkan dalam
perdagangan kecuali saling ridha, menunjukkan bahwa sepanjang satu
bentuk perdagangan dan jual beli sesuai dengan tuntunan dan tidak ada
larangannya maka asalnya adalah boleh dan halal. Dan Rabbul ‘Izzah
berfirman : وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ “Padahal
sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya
atasmu”. (QS. Al-An’am : 119) Sisi pendalilan : Segala sesuatu yang
telah diharamkan ada rincian penjelasan haramnya dalam Al-Qur’an maupun
Hadits. Maka ini menunjukkan bahwa asal dari mu’amalat adalah boleh dan
halal dan tidaklah boleh mengharamkan sesuatu kecuali kalau ada
penjelasannya dari Allah ‘Azza wa Jalla dan Rasul-Nya. Dan Allah Jalla
Sya’nuhu menyatakan : قُلْ لا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّماً
عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَماً
مَسْفُوحاً أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ “Katakanlah: “Tiadalah aku dapatkan
dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang
yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah
yang mengalir atau daging babi”. (QS. Al-An’am : 145) Sisi pendalilan :
Allah Subhanahu wa Ta’ala hanya membatasi perkara-perkara yang
diharamkan dalam ayat ini, maka apa saja yang tidak diketahui
pengharamannya maka ia adalah halal. Kesimpulan : Secara dhabith, hukum
MMM adalah HALAL karena hukum asal tersebut belum ditemukan larangan
yang mengarah kepada pengharaman. Kaum muslimin jangan salah faham
dengan kami, kami bukan membuat hukum tentang MMM, bukan kapasitas saya
memutuskan halal atau haram. Kami menghalalkan karena belum menemukan
illat (cacat hukum) dalam MMM, atau yang mengarah kepada perbuatan haram
/yang dilarang. Jadi, sebelum ada larangan yang jelas tentang system
MMM, maka hukumnya tetap kembali ke hukum semula, yakni HALAL Alasannya
adalah : - MMM masalah muamalah baru yang belum ditemukan
penyimpangannya secara syar'i Hukum ini akan berubah jika MMM cacat
hukum. Antara lain : - Riba MMM sama sekali tidak berhubungan dengan
jual beli dan hutang piutang, tetapi pemberian. Adanya penambahan 30%
bukan dari orang yang ditransfer, tetapi dari orang lain yang memberi
suka rela. Perkara memberi ikhlas atau tidak, urusan hati masing2, dan
tentu saja tidak lantas menjadi haram hanya karena niat yang salah.
Contoh anda menyumbang masjid, tetapi tidak ikhlash, maka uang tersebut
tetap halal, bukan menjadi haram karena salah niat. - Gharar (Penipuan)
Di MMM. Tak ada celah menipu. Pihak management MMM. Sama sekali tidak
menerima SETORAN uang ke perusahaan layaknya investasi. - Zhulmun Ada
akad yang menzhalimi satu pihak dan hanya menguntungkan pihak lain. MMM
jelas menguntungkan semua pihak. - Terpaksa/ Tiada Rela Sedangkan di
MMM sejak PH seseorang dikondisikan agar benar-benar tulus dan suka
rela membantu. Demikianlah, artinya system benar, perkara orang tidak
rela saat membantu, tidak menggugurkan system. - Mengandung Unsur
Perjudian. Sangat jauh berbeda antara MMM dengan perjuadian. Dalam judi
jelas2 spekulasi, pasti ada yang hancur dan untung besar, pasti ada
yang kecewa, sebab dalam judi ada istilah kalah dan menang. Sedangkan
di MMM. "Menang semua", untung semua, senang semua.
Copas dr mas Russian Awank
Menurut kajian beliau, dalam pandangan Islam kegiatan yg dilakukan komunitas MMM adalah "MUDHOROBAH"
Mudhorobah dalam Islam artinya "saling membantu dan saling membutuhkan"
Jadi
bonus 30% perbulan yg diterima oleh setiap participant MMM adalah hasil
saling bantu membantu yg berasal dari beberapa participant2 lain,
disitulah praktek dari Mudhorobah tsb.
Jauh dan sama sekali bukan
Ribah, dimana keuntungan 30% diperoleh dari satu orang yg sebelumnya
pernah berhutang lalu mengembalikannya semua nilai pokoknya ditambah
bunga 30% tsb dg disertai rasa terpaksa dan dg berat hati pula !!
Kami
memberi dan menerima bantuan ini dg hati sangat gembira dan penuh
kebahagiaan, karena dibalik kita saling membantu terbangunlah sebuah
senyum persaudaraan diantara kami, hari ini.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar